Rabu, 14 Januari 2009

SOSIAL KEAGAMAAN

Masyarakat Bima adalah masyarakat yang religius. Mayoritas penduduk Kota Bima memeluk agama Islam. Secara historis, Bima dulu merupakan salah satu pusat perkembangan Islam di Nusantara yang di tandai oleh tegak kokohnya sebuah kesultanan yaitu kesultanan Bima. Islam tidak saja bersifat elitis, hanya terdapat pada peraturan-peraturan formal-normatif serta pada segelintir orang saja melainkan juga populis, menjadi urat nadi dan darah daging masyarakat, artinya juga telah menjadi kultur masyarakat Bima.

Indikasinya jelas terlihat pada kepenganutan yang taat terhadap Islam. Budaya rimpu (berjilbab dengan sarung, menutup kepala dan muka) telah menjadi warisan kultural yang amat berharga bagi masyarakat. Budaya rimpu jelas merupakan ejawantah salah satu ajaran Islam tentang etika sosial dan hubungan manusia, khususnya dalam hal etika berbusana. Rimpu adalah kreatifitas budaya masyarakat Bima yang disemangati oleh nilai-nilai ajaran agama.

Demikian pula tradisi ngaji karo'a(membaca al-Qur'an). Sedemikian mentradisinya ngaji karo'a ini sehingga menjadi prasyarat bagi dianggap dewasanya seseorang. Ia menjadi semacam persyaratan konvensional yang harus dipenuhi oleh seseorang dalam hal menikah, mencari pekerjaan, serta hal-hal lain yang menuntut sifat kedewasaan. Lebih dari itu, festival ngaji karo'a (MTQ) adalah even rutin tahunan yang di mata masyarakat sangat tinggi wibawanya, dan karenanya menjadi semacam hiburan rakyat yang sangat mempesonakan. Sang juara ngaji karo'a adalah orang yang sangat tinggi martabatnya di mata masyarakat, ngaji karo'a menjadi institusi sosial yang besar peranannya dalam pendidikan masyarakat, tidak saja pendidikan agama, melainkan juga pendidikan dalam pengertian yang umum, yakni pendewasaan pribadi dalam masyarakat, ngaji karo'a merupakan barometer moralitas pribadi dan masyarakat.

Even-even budaya juga tidak lepas dari semangat agama. Perayaan U'a Pua misalnya, adalah salah satu even tahunan yang sangat menonjol yang didasari dan disemangati ajaran Islam. Event ini memberi gambaran (semacam show force) bahwa Islam pernah besar dan jaya di Bumi Maja Labo Dahu.

Sekarang kita sudah jarang menemukan wanita-wanita Bima yang bepergian dan keluar rumah ber-rimpu seperti dulu. Yang marak adalah gadis-gadis dengan kepala telanjang, tanpa penutup, dengan rambut sebahu. Kita mulai jarang mendengar riuh rendahnya sahut-sahutan suara ngaji di lorong-lorong kampung, terutama selepas magrib.

Dulu, dengan sentuhan keagamaan yang kuat, kehidupan masyarakat terasa tenteram, meskipun tidak mesti harus berlimpah.

Sekarang ini cenderung mudah terjadi kerusuhan antar kampung, kriminalitas, sadisme, hedonisme, anak-anak muda yang resah dan menyerahkan persoalan mereka kepada narkoba, miras, dan kupon putih, adalah hanya sebagian kecil saja dari sekian banyak kenyataan yang ada sekarang ini. Menurut banyak orang, semua persoalan ini adalah bagian dari akibat ditinggalkannya Agama oleh umat dan Masyarakat.

Dengan pendampingan yang intens dari sosok pemerintah yang berkomitmen Islam tinggi, Masyarakat Bima akan mampu berupaya mengurangi persoalan kekinian dari titik tolak agama. Disamping itu, agama juga akan menjadi energi masyarakat dalam kegiatan pembangunan. Pilihan agama ini bukan semata-mata karena suatu kebuntuan, melainkan sebagai wujud dari pengakuan dan kerinduan akan warisan lama yang luhur. Kita semua tampaknya bersepakat untuk menghidupkan tradisi dan nilai-nilai lama yang baik itu, tetapi tidak secara membabi buta, melainkan dengan modifikasi dan kreatifitas sesuai dengan alur kekinian.

Otonomi daerah merupakan momentum untuk mengaktualisasikan potensi dan keunikan lokal dalam rangka pembangunan masyarakat. Momentum itu didukung lagi oleh komitmen dan gairah masyarakat dan pemerintah akan perubahan masyarakat ke arah yang lebih maju dan lebih religius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar